Selasa, 25 Juni 2019

Sejarah Berdirinya Perpustakaan Islam Pertama di Baghdad (Baitul Hikmah)


BAB I
PENDAHULUAN
Peradaban Islam di bidang Pendidikan mengalami zaman keemasan yaitu pada masa kekuasaan Abbasiyah yang berpusat di Bagdad, berlangsung selama kurang lebih lima abad (750-1258 M)[1] Pada masa itu adalah masa kejayaan Islam dalam bidang keilmuan, disamping kehebatan sistem politik, kemiliteran dan lain sebagainya, yang kesemuanya dapat kita ambil pelajaran dari sejarah itu. Untuk kepentingan pendidikan kita terfokus kepada keberhasilan tokoh-tokoh Islam dalam menjelajah keilmuan dan dengan karya-karyanya mereka, mulai dari aliran, fiqh, tafsir, ilmu hadits, teologi, filsafat sampai kepada bidang keilmuan umum seperti matematika, astronomi, sastra sampai kepada ilmu kedokteran.
Masyarakat Abbasiyah yang punya kesadaran tinggi akan ilmu, hal ini ditunjukkan masyarakat yang sangat antusias dalam mencari ilmu, penghargaan yang tinggi bagi para ulama, para pencari ilmu, tempat-tempat menuntut ilmu, banyaknya perpustakaan-perpustakaan pribadi yang dibuka untuk umum dan juga hadirnya perpustakaan Bait al-Hikmah yang disponsori oleh khalifah pada waktu yang membantu dalam menciptakan iklim akademik yang kondusif. Tak heran jika kita menemukan tokoh-tokoh besar yang lahir pada masa ini. Tradisi atau khasanah intelektual inilah yang seharusnya kita contoh, sebagai usaha sadar keilmuan kita dalam mengejar ketertinggalan dan segera lepas dari keterpurukan. Semangat agama yang sangat menghargai ilmu pengetahuan, terekspresi pada masa kekuasaan Bani ‘Abbasiyah, khususnya pada waktu khalifah al-Ma’mun (berkuasa sejak 813-833 M). Penerjemahan buku-buku non-Arab ke dalam bahasaArab terjadi secara besar-besaran dari awal abad kedua hingga akhir abad keempat hijriyah.[2] Perpustakaan besar Bait al-Hikmah didirikan oleh khalifah al-Ma’mun di Baghdad yang kemudian menjadi pusat penerjemahan dan intelektual.[3]
Dalam makalah ini penulis hanya membatasi kepada pembahasan seputar tradisi intelektual pada masa khalifah al-Ma’mun dengan perpustakaan yang sangat berperan pada masa ini yaitu Bait al-Hikmah, bagaimana peran lembaga Bait al-Hikmah dalam pengembangan keilmuan, faktor-faktor yang mempengaruhi dan apa saja tradisi keintelektualan yang terjadi pada masa itu?















BAB II
PEMBAHASAN

1.      Sejarah Singkat Khalifah al-Ma’mun
Khalifah al-Ma’mun atau nama lengkapnya Abu Ja’far Abdullah Al Ma’mun adalah salah satu putra dari Abu Ja’far Harun Ar-Rasyid (786-809 M).[4] Semua putra al-Rasyid mewarisi bakat kepemimpinan dan mencintai ilmu pengetahuan yang diturunkan oleh bapaknya. Namun putranya yang terkenal dengan nama al-Ma’mun, sejak kecil sudah mempelajari berbagai ilmu pengetahuan. Di samping guru-gurunya yang lain, dia banyak belajar ilmu Hadits dari bapaknya sendiri Harun Ar- Rasyid, di samping mempelajari ilmu Fiqh, sastra dan tata bahasa Arab serta ilmu falsafah. Sifat-sifat kepemimpinan yang diturunkan ayahnya berkembang dalam dirinya dan muncul sebagai kepribadian yang memiliki kecerdasan tinggi, teguh dalam pendirian, logis, pemberani serta dermawan. Inilah salah satu dari kesuksesan yang dicapai oleh Harun Ar- Rasyid baik sebagai pemimpin maupun sebagai seorang ayah yang mampu menampilkan kader pengganti tangguh dan berkualitas untuk melanjutkan realisasi misi dan visinya.[5]
Khalifah al-Ma’mun, dikenal sebagai Khalifah yang sangat cinta kepada ilmu. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Ia juga mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Bait al-Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Pada masa al-Makmun inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.[6]



A.    Sejarah Baitul Hikmah
Baitul Hikmah merupakan perpustakaan yang  berfungsi sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan. Institusi ini merupakan kelanjutan dari institusi serupa di masa Imperium Sasania Persia yang bernama Jundhisapur Academy[7]. Namun berbeda dari institusi pada masa Sasania yang hanya menyimpan pusi-puisi dan cerita-cerita untuk raja.
Pada masa Abbasiyah institusi ini diperluas penggunaannya. Bait al-Hikmah atau Graha kebijaksanaan, sudah dirintis oleh khalifah Harun al-Rasyid, menjadi pusat segala kegiatan keilmuan. Pada masa Harun al-Rasyid institusi ini bernama khizanah al-Hikmah (Khazanah Kebijaksanaan)[8] yang berfungsi sebagai sebagai perpustakaan dan pusat penelitian. Di lembaga ini baik muslim maupun non muslim bekerja mengalihbahsakan sebagai naskah kuno dan menyusun berbagai penjelasan serta komentarnya. Di lembaga ini misalanya Abu Yusuf  Ya’qub al-Kindi (801-869), misalnya saja menggali dan menyinarkan kembali filsafat Yunani tetapi juga memperluas horizon pemikiran umat islam. Perhatian keilmuaannya mencakup bidang yang sangat luas, tidak saja masalah logika, tetapi juga sejarah alam, meterologi serta kimia bahkan kemiliteran.

Sejak 815 M al-Makmun mengembangkan lembaga ini dan diubah namanya menjadi Bait al-Hikmah.[9] Pada masa Ma’mun  inilah ilmu pengetahuan dan intelektual mencapai puncaknya. Pada masa ini Bait al-hikmah digunakan secara lebih maju yaitu sebagai tempat penyimpanan buku-buku kuno yang didapat dari Persia, Bizantium, bahkan Etiopia dan India. Di institusi ini al-Makmun memperkerjakan Muhammad ibn Musa al-Hawarizmi yang ahli di bidang al-jabar dan astronomi. Orang-orang persia juga diperkerjakan di Bait al-Hikmah. Direktur Bait al-hikmah sendiri adalah seorang Nasionalis persia dan ahli Pahlewi, Sahl Ibn Harun. Di bawah kekuasaan  al-makmun, Bait al-Hikmah tidak hanya berfungsi sebagai perpustakaan tetapi juga sebagai pusat kegiatan studi dan riset astronomi dan matematika.[10]
Pada 832 M, al-Makmun menjadikan Bait al-Hikmah di bagdad sebagai akademi pertama, lengkap dengan teropong bintang, perpustakan, dan lembaga penerjemahan.[11]Kepala akademi ini yang pertama adalah Yahya ibn Musawaih (777-857), murid Gibril ibn Bakhtisyu, kemudian diangkat Hunain ibn Ishaq, murid Yahya sebagai ketua ke dua.

B.     Faktor-faktor yang menyebabkab berdirinya lembaga Baitul Hikmah
Berdirinya  lembaga Baitul Hikmah merupakan kebijaksanaan untuk melakukan terobosan isolasi intelektual yang sebelumnya telah berakar kuat dalam alam “Bawah Sadar” umat islam, sekaligus juga merupakan langkah  untuk mengingatkan kembali salah satu watak dasar ajaran islam yang sangat apresiatif terhadap dunia keilmuan. Karena banyak ayat al-quran dan sabda Rasul yang menyuruh umat islam mendalami ilmu.
Al-Makmun melakukan beberapa terobosan penting dalam pembangunan lembaga Bait al-Hikmah baik di bidang politik maupun  sosiokultural, yakni sebagai berikut:
a)      Adanya political will untuk menembus isolasi politik dengan dunia luar secara damai dan saling menguntungkan.
b)      Pembinaan dan kebijaksanaan politik dalam negeri yang lebih bercorak nasionalis dari pada periode-periode sebelumnya.
c)      Memasukkan secara besar-besaran dan sistematis ilmu pengetahuan sekuler dan kebudayaannya kedalam khazanah intelektual dan alam pikiran umat islam.[12]

Motivasi didirikannya lembaga baitul hikmah boleh jadi memang kepentingan-kepentingan praktis, seperti kepentingan untuk menguasai ilmu kedokteran, astronomi, tetapi juga sangat penting didorong oleh kepentingan prestise,[13] ada yang menilai bahwa pendirian lembaga tersebut sesunggguhnya didorong oleh keinginan meniru lembaga hebat yang didirikan oleh orang-orang kristen Nestorians;  yakni gondhesaphur yang salah satu tokohnya georgius Gabriel pernah ditunjuk menjadi kepala sebuah rumah sakit pada jaman khalifah al-Mansur. Tokoh ini juga aktif menerjemahkan karya-karya yunani.
Terlepas dari itu semua yang menjadi motivasi utamanya, pembentukan lembaga Baitul Hikmah adalah disebabkan oleh faktor-faktor obyektif sebagai berikut:[14]
a.       Melimpahnaya kekayaan negara dan tingginya apresiasi khalifah al-makmun terhadap ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Al-Makmun mempunyai selera pribadi (personal predillection) yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan (Filsafat, kedokteran, astronomi, dan lain-lain), dan seni musik.  Bersatunya “dana” dengan “selera” ini melahirkan “political will” yang ternyata mendapat sambutan yang positif dari para pembantunya dan dari masyarakat.
b.      ada saat itu kawasan irak (mesopotamia) dan sekitarnya telah memiliki tradisi keilmuan yang tinggi yang berasal dari warisan peradaban masa lampau. Disana telah ada daerah-daerah kantong (enclaves) di mana ilmu-ilmu pengetahuan orang-orang kuno (ulum al awail) telah dipelajari lama secara turun temurun. Warisan peradaban masa lampau ini masuk ke kawasan persia diantaranya dibawa oleh para imigran. Misalnya kaum Nasrani dari madzhab Nestorias yang diusir kaisar Bizantium dari mazhab Nestorias yang diusir Kaisar Bizantium dari Eddesa tahun 489[15]. Pada tahun 529 datang lagi gelombang imigran dan lulusan athena yang terusir dan akhirnya masuk kawasan persia. Dalam hal ini tidak dapat diabaikan jasa besar dari “The Great king” Chosrus Nushirwan (tahun 531-579);yang akhirnya bisa menjadikan kawasan tersebut sebagai sentra-sentra ilmu pengetahuan yang penting.[16] Gondhesaphur adalah salah satu yang terpenting.  Kota di propinsi Khuzistan ini sangat populer dengan ilmu kedokterannya. Warga kota ini telah mampu mengembangkan metode-metode pengobatan yang lebih dekat daripada metode India dan Yunani. Disamping melalui para imigran, warisan perradaban kuno juga masuk ke kawasan Persia akibat interaksi dengan dunia luar selama berabad-abad. Karena kawasan Iraq (Mesopotamia) memang telah mempunyai rentang sejarah peradaban yang tua.
c.       Adanya apresiasi yang tinggi dari kebanyakan anggota masyarakat (dari berbagai lapisan sosial) terhadap kegiatan keilmuan,yang menyebabkan mereka bisa bekerja bahu-membahu satu sama lain tanpa mengalami beban psikologis yang disebabkan oleh perbedaan etnis, agama, status sosial dan lain sebagainya. Disini profesionalitas dijunjung tinggi dengan sikap terbuka dan fair. Sehingga tidak mengherankan jika waktu itu, karena kualitasnya, orang-orang etnis non arab dan non muslim banyak sekali perananya. Mereka bisa menjalankan tugas dengan tenang meskipun memerintahkan adalah kaisar (khalifah) muslim.

2.      Gerakan Penerjemahan dan karya-karya yang di terjemahkan
Sebagaian ilmuwan bependapat, bahwa usaha ilmiah terpenting  dijalankan oleh akademi ini terjadi sewaktu dikepalai oleh Hunain ibn Ishaq (873M) seorang Kristen yang pandai berbahasa Arab dan Yunani. Dia memperkenalkan metode penerjemahan baru yaitu menterjemahkan kalimat, bukan menerjemahkan kata per kata, hal ini agar dapat memperoleh keakuratan dan keotentikan naskah, Hunain juga menggunakan metode penerjemahkan dengan membandingkan beberapa naskah untuk diperbandingkan. Hunain berhasil memindahkan ke dalam bahasa Arab Apollonius, Plato, Galen, Aristoteles, Themitius, Perjanjian lama,dan sebuah buku kedokterann yang dikarang oleh Paulus al-Agani dengan bantuan para penerjemah dari Bait al-Hikmah. Ia  menerjemahkan kitab Republik dari Plato, dan kitab Kategori, Metafisika, Magna Moralia dari Aristoteles .
Penerjemahan buku-buku ilmu falak, kedokteran ,filsafat, dan lain-lain dilakukan secara langsung dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab selain kota baghadad, juga di Harran,  Merv (Persia Timur) , dan Jund-e-Shapur (Persia Barat). Biasanya naskah berbahasa Yunani diterjemahkan ke dalam Bahsa Syiria kuno dulu sebelum ke dalam Bahsa Arab.[17] Hal ini dikarenakan para penerjemah biasannya adalah para pendeta Kristen Syiria yang hanya memahami Bahsa Yunani dan Bhasa mereka sendiri yang berbeda dengan Bahasa Arab.Kemudian,para ilmuwan yang memahami Bhasa Syiria dan Arab menerjemahkan naskah tersebut ke dalam Bahasa Arab. Pasca Ma’mun, penerjemahan berjalan terus,bahkan tidak hanya menjadi urusan istana, tetapi telah menjadi usaha pribadi oleh orang yang gemar dan mencintai ilmu, misalnya Muhammad, Ahmad, dan al-Hasan anak-anak Musa Ibn Syakir yang telah menafkahkan sebagian besar hartanya untuk penerjemhan buku-buku.
Sementara itu, Musa telah menerjemahan ke dalam bahasa Arab buku-buku karangan Plato, Aristoteles,  dan lain-lain. Sebagai catatan orang Nestor Syiriah yang berbahasa Suryani yang banyak terlibat dalam penerjemahan buku-buku Yunani ke dalam bahsa Arab. Yahya al-batrik, ahli bahasa Suryani dan Yunani menyerahkan buku terjemahan dari Yunani ke Arab kepada khalifah Abbasiyah, kemudian khalifah menyuruh Mu’allim Tsani, al-Farabi untuk mengedit lagi, karena al-batrik dianggap kurang mahir bahasa arab. Hal ini menunjukkan betapa perhatian pemerintah dalam hal memelihara ilmu pengetahuan Yunani.
Kegiatan kaum  muslimin bukan hanya menerjemahkan,bahkan mulai memberikan syarahan (penjelasan), dan melakukan tahqiq (pengeditan). Pada mulanya muncul dalam bentuk karya tulis yang ringkas, lalu dalam wujud yang lebih luas dan dipadukan dalam berbagai pemikiran dan petikan,analisis dan kritik yang disusun dalm bentuk bab-bab dan pasal-pasal. Dengan kepekaan mereka, hasil kritik dan analisis itu memancing lahirnya teori-teori baru sebagi hasil renungan mereka sendiri. Misalnya apa yang telah dilakukan oleh Muhammd ibn Musa al-Khawaizmi dengan memisahkan aljabar dan ilmu hisab yang pada akhirnya menjadi ilmu tersendiri  secara sistematis.
Gerakan penerjemahan berlangsung dalam tiga fase. Fase pertama pada masa Khalifah al-Manshur hingga Harun ar-Rasyid. Pada masa ini yang banyak diterjemhkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan mantiq. Fase kedua berlangsung mulai masa khalifah al-makmun hingga tahun 300 H. Buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat, dan kedokteran. Pada fase ketiga berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas. Selanjutnya bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas.

Pada masa itu sejarah peradaban telah mengukir bahwa masa pemerintahan bani abbasiyah merupa kan golden age terutama pada masa khalifah al-Makmun.Umat Islam sesungguhnya telah dipacu untuk dapat mengembangkan dan memmberikan Inovasi serta kreativitas dalam upaya membawa umat kepada keutuhan dan kesempurnaan  hidup. Aktivitas ilmiah yang berlangsung pada masa Dinasti Abbasiyah mengantarkan dinasti ini mencapai kemajuan di bidang ilmu pengetahuan. Seperti ilmu kimia, kedokteran, filsafat, matematika, astronomi, astrologi, geografi, sejarah,ilmu-ilmu agam islam, dan sebagainya. Di samping itu, para sastrawan, penyair, musisi, dan lain-lain menghiasi era Abbasiyah. Dalam perjalan sejarah Bani abbasiyah telah mengubah dan menoreh wajah dunia islam dalam refleksi kegoatan pengembangan wawasan dan disiplin keilmuwan.
Kemajuan intelektual pada masa tersebut, ditentukan oleh dua hal, yaitu sebagai berikut. Terjadinya asimilasi antara bahasa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada masa pemerintahan Bani Abbas, bangsa-bangsa non Arab banyak yang masuk Islam. Asimilasi berlangsung secara efektif dan bernilai guna. Bangsa-bangsa itu memberi saham tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam. Pengaruh Persia sangat kuat di bidang pemerintah. Di samping itu Bangsa Persia banyak berjasa dalam perkembangan ilmu, filsafat, dan sastra. Pengaruh India terlihat dalam bidang kedokteran, ilmu matematika,  dan astronomi. Sedangkan pengaruh Yunani masuk melalui terjemahan-terjemahan di berbagai bidang ilmu,terutama filsafat.[18]
Motif utama berdirinya lembaga Baitul Hikmah dimaksudkan untuk menggalakkkan dan mengkoordinir kegiatan pencarian dan penerjemahan karya-karya klasik dari warisan intelektual Yunani, Persia, Mesir dan lain-lain ke dalam bahasa Arab, khusunya umat islam. Salah seorang yang paling berperan, Hunayn bin ishaq, mengadakan perjalanan ke Alexandria dan singgah pula di Syiria dan Palestina untuk mencari karya-karya kuno tersebut.[19]
Menurut Dr.Oumar Faroukh, faktor-faktor yang mendorong umat Islam melakukan kegiatan penerjemah dan transfer ilmu-ilmu kuno adalah :
a.       Suasana Persaingan (prestise) antara orang-orang Arab dengan lainnya.
b.       Keinginan untuk menguasai ilmu-ilmu yang belum dimiliki.
c.       Legitimasi dan dorongan ayat-ayat al-Quran( dan ajran Islam secara keseluruhan) untuk menguasai ilmu pengetahuan.
d.       Bahwa Kemajuan ilmu pengetahuan merupakan konsekuensi (Meskipun tidak selalu demikian) dari peningkatan kemakmuran dan kemajuan ekonomi.

3.      Dampak dari kegiatan penerjemahan
Dengan berdirinya Baitul hikmah, kegiatan pentransferan ilmu pengetahuan menjadi lebih intensif. Khalifah berhasil merekrut para sastrawan, sejarawan dan ilmuwan-ilmuwan terbaiknya. Tim-tim ekspedisipun dikirim ke kawasan-kawasan kuno kerajaan Bizantium dengan tugas mencari karya-karya ilmuwan/ filosof klasiknya. Melalui kegiatan-kegiatan ekspedisi inilah pada akhirnya umat islam bisa  “berkenalan”  dengan karya-karya Hypokrates, Euclides , galen dan lain-lain, yang di Eropa sendiri praktis dilupakan.

Pesatnya perkembangan lembaga Bait al-Hikmah mendorong lembaga ini untuk memperluas peranannya, bukan saja sebagai lembaga penerjemah, tetapi juga meliputi hal-hal sebagai berikut:
a.       Sebagai pusat dokumentasi dan pelayanan informasi keilmuwan bagi masyarakat, yang antara lain ditunjukkan dengan berdirinya banyak perpustakaan umum di kota baghdad.
b.      Sebagai pusat dan forum kegiatan pengembangan keilmuan, sehingga semua perangkat risetnya juga dilengkapi dengan observatorium astronomi.
c.        Sebagai pusat kegiatan perencanaan dan koordinasi pelaksanaan pendidikan.

Meluasnya peran lembaga tersebut pada gilirannya membawa dampak positif secara makro bagi  masyarakat luas diantaranya:
1.      Ditemukannya jalur “benang Merah” yang menjelaskan rentangan sejarah perkembangan peradaban umat manusia sejak kurun yang sangat tua, dan diperolehnya kembali kekayaan warisan peradaban kuno yang bernilai tinggi dari Yunani, Mesir, India, Persia dan lain-lain.
2.      Semakin tumbuh suburnya kondisi sosial yang favourable bagi pengembangan keilmuan, akibat dari masyarakat yang semakin apresiatif terhadap bidang tersebut.
3.      Terjadinya integrasi sosial yang kian intensif dan berkurangnya sikap primodialisme.

a.       Dalam bidang Filsafat,
para filosof Islam berusaha menjawab persoalan-persoalan umat Islam yang berkaitan dengan kepercayaan dan pemikiran baik teoritis maupun praktis, kemanusiaan maupun ketuhanan yang dianggap oleh umat islam perlu untuk dijawab sebagai pegangan hidup keseharian maupun untuk keselamatan yang lebih tinggi. Pada saat ini pemikiran filsafat mencakup bidang keilmuan yang sangat luas seperti logika, geometri, Astronomi,dan musik yang digunakan untuk menjelaskan pemikiran abstrak, garis, dan gambar, gearkan dan suara. Para filosof semasa Abbasiyah seperti Ya’qub Ibn Ishaq al-Kindi,  Abu Nasr Muhammad al-Farabi, Ibn bjah, Ibn Tufail dan Ibnu Rushd menjelaskan pemikiran-pemikirannya dengan menggunakan contoh, metafor, analogi, gambaran dan imaginatif.[20]
b.      Dalam Bidang Hukum Islam,
 karya pertama yang diketahui adalah majmu’ al-Fiqh karya Zaid ibn Ali (w.122/740) yang berisi tentang fiqh Syi’ah Zidiyah. Hakim agung yang pertama adalah Abu Hanifah (w.150/767). Meski dianggap sebagai pendiri madzhab hanafi, karya-karyanya sendiri tidak ada yang terselamatkan. Dua bukunya yang berjudul Fiqh al-Akbar(Terutama berisi artikel tentang keyakinan) dan Wasiyah Abi Hanifah berisi pemikiran-penikirannya terselamatkan karena ditulis oleh para muridnya. Pencipta sebenarnya madzhab Hanafi adalah Abu Yusuf (w.182/798) dan Muhammad al-Syaibani (w.189/804). Murid-murid Abu Hanifah ini menulis pemikiran-pemikiran guru mereka tersebut dan memberi komentar terhadap pemikiran-pemikiran tersebut. Abu  Yusuf menjadi hakim utama pada masa Harun al-Rasyid. Dia sendiri menulis kitab tentang berbagai macam pajak dalam islam termasuk zakat.
Ada beberapa pendiri madzhab hukum lain yang sudah punah. Al-Auza’i (w.157/774) dikatakan telah menciptakan madzhab fiqh tersendiri di Syiria. Sedangkan Sufyan al-Thawari (w.161/1778) dikatakan telah menciptakan madzhab hukum Islam di syiria.
Pendiri Mazhab besar kedua adalah Malik Ibn Anas dari Madinah (w.179/795) yang menulis karya yang penting mengenai syari’ah. Karyanya kitab al-muwatta’ merupakan hukum Islam otentik pertama yang masih utuh. Kitab ini merupakan kitab hukum dan kumpulan-kumpulan hadits.
Pendiri madzhab besar ketiga adalah muhammad ibn Idris as-Syafi’i (w.204/820) sangat ekstentif dan lebih sistematik. Karyanya yang paling penting adalah kitab al-Risalah fi Ushul al-Fiqh). Kitab ini merupakan tulisan pertama yang menguraikan sistem hukum secara lengkap yang didasarkan pada al-Quran, Sunnah, Ijma’,dan Qiyas yang dinamakan usul (landasan) yang sangat berpengaruh besar dalam pengembangan hukum islam.

Pendiri mazhab besar keempat adalah Ahmad ibn Hanbal (w.241-855) yang merupakan saling konservatif antara keempat pendiri mazhab sunni). Karyanya musnad berisi sekumpulan 30.000 hadits Nabi. Dia juga menulis karya kitab al-Masa’il,kitab al-Wuru’ dan kitab Zuhd.[21]



























BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat di tarik kesimpulan bahwa, pada masa Bani Abassiyah umumnya dan masa Khalifah al-Ma’mun khususnya, Islam meraih kejayaannya. Banyak kontribusi keilmuan yang disumbangkan. Karya dan tokoh-tokohnya telah menjadi inspirasi dalam pengembangan keilmuan, oleh karena itu masa ini dikatakan sebagai masa keemasan Islam walau akhirnya peradaban Islam mengalami kemunduran dan kehancuran di bidang keilmuan bersamaan dengan berakhirnya pemerintahan Abbasiyah secara umum.
Demikian makalah ini kami sampaikan, tentunya makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saran dan kritik dari pembaca sangat kami harapkan, agar makalah ini menjadi lebih sistematis dan komprehensif. Dan semoga dengan uraian di atas kita dapat mengambil hikmahnya.















DAFTAR PUSTAKA

Amin,Samsul Munir. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah, 2009
Karim,Muhammad Abdul. Sejarah Pemikiran Dan Peradaban Islam. Yogyakarta: Pusta Book Publisher 2009
Lathiful Khuluq, et.al. Sejarah Peradaban Islam Dari Masa Klasik Hingga Modern.. Yogyakarta: Lesfi, 2003
Madjid, Nurcholish., Khazanah Intelektual Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1994
Nasution, Harun., Islam Ditinjau Dari Bebabagi Aspeknya, Jakarta: UI Press, 1985
http://muhlis.files.wordpress.com/2007/08/islam-masa-abbasiyyah.pdf
http://ahperpus.multiply.com/journal?&page_start=20
http://kasadaranlink.blogspot.com

Rofiq, Choirul. Sejarah Peradaban Islam Dari Masa Klasik Hingga Modern.. Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2009

Solikhin, Muhammad. Sejarah Peradaban Islam.. Semarang: RASAIL, 2005
Shaliba, Jamil., Al-Falsafah Al-‘Arabiyah,Dar al-Kitab al-Lubnani, Beirut, 1973





[1]Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta; Bulan Bintang, 1994), h. 25
[2] Jamil Shaliba, Al-Falsafah Al-‘Arabiyah, (Beirut ;Dar al-Kitab al-Lubnani, 1973), h. 96
[3]Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Bebabagi Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 1985).h. 68

[4] http://muhlis.files.wordpress.com/2007/08/islam-masa-abbasiyyah.pdf
[5] http://ahperpus.multiply.com/journal?&page_start=20
[6] http://kasadaranlink.blogspot.com/
[7]Lathiful Khuluq. Sejarah Peradaban Islam Dari Masa Klasik Hingga Modern. (Yogyakarta: Lesfi 2003). h.126
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10]Ibid. h. 127
[11]M. Abdul Karim. Sejarah Pemikiran Dan Peradaban Islam. (Yogyakarta: Pusta Book Publisher,2009). h. 176
[12] M.Solikhin. . Sejarah Peradaban Islam. (Semarang: Rasail 2005),h. 69
[13]Ibid, h. 65

[14]Ibid
[15]Ibid. h. 66
[16] Ibid.
[17] Latiful Khuluk, Sejarah Peradaban Islam…., h.124

[18]Samsul Munir Amin. Sejarah Peradaban Islam,(Jakarta: Amzah, 2009). h.145
[19] Ibid, h.67
[20] Latiful Khuluk, Sejarah Peradaban Islam…., hal 127

[21] Ibid, h.128