BAB I
PENDAHULUAN
Peradaban Islam di bidang Pendidikan mengalami zaman keemasan yaitu pada
masa kekuasaan Abbasiyah yang berpusat di Bagdad, berlangsung selama kurang
lebih lima abad (750-1258 M)[1]
Pada masa itu adalah masa kejayaan Islam dalam bidang keilmuan, disamping
kehebatan sistem politik, kemiliteran dan lain sebagainya, yang kesemuanya
dapat kita ambil pelajaran dari sejarah itu. Untuk kepentingan pendidikan kita
terfokus kepada keberhasilan tokoh-tokoh Islam dalam menjelajah keilmuan dan
dengan karya-karyanya mereka, mulai dari aliran, fiqh, tafsir, ilmu hadits,
teologi, filsafat sampai kepada bidang keilmuan umum seperti matematika,
astronomi, sastra sampai kepada ilmu kedokteran.
Masyarakat Abbasiyah yang punya kesadaran tinggi akan ilmu, hal ini
ditunjukkan masyarakat yang sangat antusias dalam mencari ilmu, penghargaan
yang tinggi bagi para ulama, para pencari ilmu, tempat-tempat menuntut ilmu,
banyaknya perpustakaan-perpustakaan pribadi yang dibuka untuk umum dan juga
hadirnya perpustakaan Bait al-Hikmah yang disponsori oleh khalifah pada waktu
yang membantu dalam menciptakan iklim akademik yang kondusif. Tak heran jika
kita menemukan tokoh-tokoh besar yang lahir pada masa ini. Tradisi atau
khasanah intelektual inilah yang seharusnya kita contoh, sebagai usaha sadar
keilmuan kita dalam mengejar ketertinggalan dan segera lepas dari keterpurukan. Semangat agama yang sangat menghargai ilmu pengetahuan, terekspresi pada
masa kekuasaan Bani ‘Abbasiyah, khususnya pada waktu khalifah al-Ma’mun
(berkuasa sejak 813-833 M). Penerjemahan buku-buku non-Arab ke dalam bahasaArab
terjadi secara besar-besaran dari awal abad kedua hingga akhir abad keempat
hijriyah.[2]
Perpustakaan besar Bait al-Hikmah didirikan oleh khalifah al-Ma’mun di Baghdad
yang kemudian menjadi pusat penerjemahan dan intelektual.[3]
Dalam makalah ini penulis hanya membatasi kepada pembahasan seputar tradisi
intelektual pada masa khalifah al-Ma’mun dengan perpustakaan yang sangat berperan
pada masa ini yaitu Bait al-Hikmah, bagaimana peran lembaga Bait al-Hikmah
dalam
pengembangan
keilmuan, faktor-faktor yang mempengaruhi dan apa saja tradisi keintelektualan
yang terjadi pada masa itu?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Sejarah Singkat
Khalifah al-Ma’mun
Khalifah
al-Ma’mun atau nama lengkapnya Abu Ja’far Abdullah Al Ma’mun adalah salah satu
putra dari Abu Ja’far Harun Ar-Rasyid (786-809 M).[4]
Semua putra al-Rasyid mewarisi bakat kepemimpinan dan mencintai ilmu
pengetahuan yang diturunkan oleh bapaknya. Namun putranya yang terkenal dengan
nama al-Ma’mun, sejak kecil sudah mempelajari berbagai ilmu pengetahuan. Di
samping guru-gurunya yang lain, dia banyak belajar ilmu Hadits dari bapaknya
sendiri Harun Ar- Rasyid, di samping mempelajari ilmu Fiqh, sastra dan tata
bahasa Arab serta ilmu falsafah. Sifat-sifat kepemimpinan yang diturunkan
ayahnya berkembang dalam dirinya dan muncul sebagai kepribadian yang memiliki
kecerdasan tinggi, teguh dalam pendirian, logis, pemberani serta dermawan.
Inilah salah satu dari kesuksesan yang dicapai oleh Harun Ar- Rasyid baik
sebagai pemimpin maupun sebagai seorang ayah yang mampu menampilkan kader
pengganti tangguh dan berkualitas untuk melanjutkan realisasi misi dan visinya.[5]
Khalifah
al-Ma’mun, dikenal sebagai Khalifah yang sangat cinta kepada ilmu. Pada masa
pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Ia juga mendirikan
sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Bait
al-Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan
perpustakaan yang besar. Pada masa al-Makmun inilah Baghdad mulai menjadi pusat
kebudayaan dan ilmu pengetahuan.[6]
A.
Sejarah Baitul Hikmah
Baitul Hikmah merupakan perpustakaan yang
berfungsi sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan. Institusi ini
merupakan kelanjutan dari institusi serupa di masa Imperium Sasania Persia yang
bernama Jundhisapur Academy[7].
Namun berbeda dari institusi pada masa Sasania yang hanya menyimpan pusi-puisi
dan cerita-cerita untuk raja.
Pada masa Abbasiyah institusi ini diperluas
penggunaannya. Bait al-Hikmah atau Graha kebijaksanaan, sudah dirintis oleh
khalifah Harun al-Rasyid, menjadi pusat segala kegiatan keilmuan. Pada masa
Harun al-Rasyid institusi ini bernama khizanah al-Hikmah (Khazanah
Kebijaksanaan)[8]
yang berfungsi sebagai sebagai perpustakaan dan pusat penelitian. Di lembaga
ini baik muslim maupun non muslim bekerja mengalihbahsakan sebagai naskah kuno
dan menyusun berbagai penjelasan serta komentarnya. Di lembaga ini misalanya
Abu Yusuf Ya’qub al-Kindi (801-869), misalnya saja menggali dan
menyinarkan kembali filsafat Yunani tetapi juga memperluas horizon pemikiran
umat islam. Perhatian keilmuaannya mencakup bidang yang sangat luas, tidak saja
masalah logika, tetapi juga sejarah alam, meterologi serta kimia bahkan
kemiliteran.
Sejak 815 M al-Makmun mengembangkan lembaga ini
dan diubah namanya menjadi Bait al-Hikmah.[9]
Pada masa Ma’mun inilah ilmu pengetahuan dan intelektual mencapai
puncaknya. Pada masa ini Bait al-hikmah digunakan secara lebih maju yaitu
sebagai tempat penyimpanan buku-buku kuno yang didapat dari Persia, Bizantium,
bahkan Etiopia dan India. Di institusi ini al-Makmun memperkerjakan Muhammad
ibn Musa al-Hawarizmi yang ahli di bidang al-jabar dan astronomi. Orang-orang
persia juga diperkerjakan di Bait al-Hikmah. Direktur Bait al-hikmah sendiri
adalah seorang Nasionalis persia dan ahli Pahlewi, Sahl Ibn Harun. Di bawah
kekuasaan al-makmun, Bait al-Hikmah tidak hanya berfungsi sebagai
perpustakaan tetapi juga sebagai pusat kegiatan studi dan riset astronomi dan
matematika.[10]
Pada 832 M, al-Makmun
menjadikan Bait al-Hikmah di bagdad sebagai akademi pertama, lengkap dengan
teropong bintang, perpustakan, dan lembaga penerjemahan.[11]Kepala
akademi ini yang pertama adalah Yahya ibn Musawaih (777-857), murid Gibril ibn
Bakhtisyu, kemudian diangkat Hunain ibn Ishaq, murid Yahya sebagai ketua ke
dua.
B.
Faktor-faktor yang menyebabkab berdirinya
lembaga Baitul Hikmah
Berdirinya
lembaga Baitul Hikmah merupakan kebijaksanaan untuk melakukan terobosan isolasi
intelektual yang sebelumnya telah berakar kuat dalam alam “Bawah Sadar” umat
islam, sekaligus juga merupakan langkah untuk mengingatkan kembali salah
satu watak dasar ajaran islam yang sangat apresiatif terhadap dunia keilmuan.
Karena banyak ayat al-quran dan sabda Rasul yang menyuruh umat islam mendalami
ilmu.
Al-Makmun melakukan beberapa terobosan penting
dalam pembangunan lembaga Bait al-Hikmah baik di bidang politik maupun
sosiokultural, yakni sebagai berikut:
a) Adanya political
will untuk menembus isolasi politik dengan dunia luar secara damai dan
saling menguntungkan.
b) Pembinaan dan
kebijaksanaan politik dalam negeri yang lebih bercorak nasionalis dari pada
periode-periode sebelumnya.
c) Memasukkan
secara besar-besaran dan sistematis ilmu pengetahuan sekuler dan kebudayaannya
kedalam khazanah intelektual dan alam pikiran umat islam.[12]
Motivasi didirikannya lembaga baitul hikmah
boleh jadi memang kepentingan-kepentingan praktis, seperti kepentingan untuk
menguasai ilmu kedokteran, astronomi, tetapi juga sangat penting didorong oleh
kepentingan prestise,[13]
ada yang menilai bahwa pendirian lembaga tersebut sesunggguhnya didorong oleh
keinginan meniru lembaga hebat yang didirikan oleh orang-orang kristen
Nestorians; yakni gondhesaphur yang salah satu tokohnya georgius Gabriel
pernah ditunjuk menjadi kepala sebuah rumah sakit pada jaman khalifah
al-Mansur. Tokoh ini juga aktif menerjemahkan karya-karya yunani.
Terlepas dari itu semua yang menjadi motivasi
utamanya, pembentukan lembaga Baitul Hikmah adalah disebabkan oleh
faktor-faktor obyektif sebagai berikut:[14]
a.
Melimpahnaya kekayaan negara dan tingginya
apresiasi khalifah al-makmun terhadap ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
Al-Makmun mempunyai selera pribadi (personal predillection) yang tinggi
terhadap ilmu pengetahuan (Filsafat, kedokteran, astronomi, dan lain-lain), dan
seni musik. Bersatunya “dana” dengan “selera” ini melahirkan “political
will” yang ternyata mendapat sambutan yang positif dari para pembantunya
dan dari masyarakat.
b.
ada saat itu kawasan irak (mesopotamia) dan
sekitarnya telah memiliki tradisi keilmuan yang tinggi yang berasal dari
warisan peradaban masa lampau. Disana telah ada daerah-daerah kantong
(enclaves) di mana ilmu-ilmu pengetahuan orang-orang kuno (ulum al awail) telah
dipelajari lama secara turun temurun. Warisan peradaban masa lampau ini masuk
ke kawasan persia diantaranya dibawa oleh para imigran. Misalnya kaum Nasrani
dari madzhab Nestorias yang diusir kaisar Bizantium dari mazhab Nestorias yang
diusir Kaisar Bizantium dari Eddesa tahun 489[15].
Pada tahun 529 datang lagi gelombang imigran dan lulusan athena yang terusir
dan akhirnya masuk kawasan persia. Dalam hal ini tidak dapat diabaikan jasa
besar dari “The Great king” Chosrus Nushirwan (tahun 531-579);yang
akhirnya bisa menjadikan kawasan tersebut sebagai sentra-sentra ilmu pengetahuan
yang penting.[16]
Gondhesaphur adalah salah satu yang terpenting. Kota di propinsi
Khuzistan ini sangat populer dengan ilmu kedokterannya. Warga kota ini telah
mampu mengembangkan metode-metode pengobatan yang lebih dekat daripada metode
India dan Yunani. Disamping melalui para imigran, warisan perradaban kuno juga
masuk ke kawasan Persia akibat interaksi dengan dunia luar selama berabad-abad.
Karena kawasan Iraq (Mesopotamia) memang telah mempunyai rentang sejarah
peradaban yang tua.
c.
Adanya apresiasi yang tinggi dari kebanyakan
anggota masyarakat (dari berbagai lapisan sosial) terhadap kegiatan
keilmuan,yang menyebabkan mereka bisa bekerja bahu-membahu satu sama lain tanpa
mengalami beban psikologis yang disebabkan oleh perbedaan etnis, agama, status
sosial dan lain sebagainya. Disini profesionalitas dijunjung tinggi dengan
sikap terbuka dan fair. Sehingga tidak mengherankan jika waktu itu, karena
kualitasnya, orang-orang etnis non arab dan non muslim banyak sekali perananya.
Mereka bisa menjalankan tugas dengan tenang meskipun memerintahkan adalah
kaisar (khalifah) muslim.
2.
Gerakan
Penerjemahan dan karya-karya yang di terjemahkan
Sebagaian ilmuwan
bependapat, bahwa usaha ilmiah terpenting dijalankan oleh akademi ini
terjadi sewaktu dikepalai oleh Hunain ibn Ishaq (873M) seorang Kristen yang
pandai berbahasa Arab dan Yunani. Dia memperkenalkan metode penerjemahan baru
yaitu menterjemahkan kalimat, bukan menerjemahkan kata per kata, hal ini agar
dapat memperoleh keakuratan dan keotentikan naskah, Hunain juga menggunakan
metode penerjemahkan dengan membandingkan beberapa naskah untuk
diperbandingkan. Hunain berhasil memindahkan ke dalam bahasa Arab Apollonius,
Plato, Galen, Aristoteles, Themitius, Perjanjian lama,dan sebuah buku
kedokterann yang dikarang oleh Paulus al-Agani dengan bantuan para penerjemah
dari Bait al-Hikmah. Ia menerjemahkan kitab Republik dari Plato, dan
kitab Kategori, Metafisika, Magna Moralia dari Aristoteles .
Penerjemahan
buku-buku ilmu falak, kedokteran ,filsafat, dan lain-lain dilakukan secara
langsung dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab selain kota baghadad, juga di
Harran, Merv (Persia Timur) , dan Jund-e-Shapur (Persia Barat). Biasanya
naskah berbahasa Yunani diterjemahkan ke dalam Bahsa Syiria kuno dulu sebelum ke
dalam Bahsa Arab.[17]
Hal ini dikarenakan para penerjemah biasannya adalah para pendeta Kristen
Syiria yang hanya memahami Bahsa Yunani dan Bhasa mereka sendiri yang berbeda
dengan Bahasa Arab.Kemudian,para ilmuwan yang memahami Bhasa Syiria dan Arab
menerjemahkan naskah tersebut ke dalam Bahasa Arab. Pasca Ma’mun, penerjemahan
berjalan terus,bahkan tidak hanya menjadi urusan istana, tetapi telah menjadi
usaha pribadi oleh orang yang gemar dan mencintai ilmu, misalnya Muhammad,
Ahmad, dan al-Hasan anak-anak Musa Ibn Syakir yang telah menafkahkan sebagian
besar hartanya untuk penerjemhan buku-buku.
Sementara itu, Musa
telah menerjemahan ke dalam bahasa Arab buku-buku karangan Plato,
Aristoteles, dan lain-lain. Sebagai catatan orang Nestor Syiriah yang
berbahasa Suryani yang banyak terlibat dalam penerjemahan buku-buku Yunani ke
dalam bahsa Arab. Yahya al-batrik, ahli bahasa Suryani dan Yunani menyerahkan
buku terjemahan dari Yunani ke Arab kepada khalifah Abbasiyah, kemudian
khalifah menyuruh Mu’allim Tsani, al-Farabi untuk mengedit lagi, karena
al-batrik dianggap kurang mahir bahasa arab. Hal ini menunjukkan betapa
perhatian pemerintah dalam hal memelihara ilmu pengetahuan Yunani.
Kegiatan kaum
muslimin bukan hanya menerjemahkan,bahkan mulai memberikan syarahan (penjelasan),
dan melakukan tahqiq (pengeditan). Pada mulanya muncul dalam bentuk karya tulis
yang ringkas, lalu dalam wujud yang lebih luas dan dipadukan dalam berbagai
pemikiran dan petikan,analisis dan kritik yang disusun dalm bentuk bab-bab dan
pasal-pasal. Dengan kepekaan mereka, hasil kritik dan analisis itu memancing
lahirnya teori-teori baru sebagi hasil renungan mereka sendiri. Misalnya apa
yang telah dilakukan oleh Muhammd ibn Musa al-Khawaizmi dengan memisahkan
aljabar dan ilmu hisab yang pada akhirnya menjadi ilmu tersendiri secara
sistematis.
Gerakan penerjemahan
berlangsung dalam tiga fase. Fase pertama pada masa Khalifah al-Manshur hingga
Harun ar-Rasyid. Pada masa ini yang banyak diterjemhkan adalah karya-karya
dalam bidang astronomi dan mantiq. Fase kedua berlangsung mulai masa khalifah
al-makmun hingga tahun 300 H. Buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam
bidang filsafat, dan kedokteran. Pada fase ketiga berlangsung setelah tahun 300
H, terutama setelah adanya pembuatan kertas. Selanjutnya bidang-bidang ilmu
yang diterjemahkan semakin meluas.
Pada masa itu sejarah
peradaban telah mengukir bahwa masa pemerintahan bani abbasiyah merupa kan golden
age terutama pada masa khalifah al-Makmun.Umat Islam sesungguhnya telah
dipacu untuk dapat mengembangkan dan memmberikan Inovasi serta kreativitas
dalam upaya membawa umat kepada keutuhan dan kesempurnaan hidup.
Aktivitas ilmiah yang berlangsung pada masa Dinasti Abbasiyah mengantarkan
dinasti ini mencapai kemajuan di bidang ilmu pengetahuan. Seperti ilmu kimia,
kedokteran, filsafat, matematika, astronomi, astrologi, geografi,
sejarah,ilmu-ilmu agam islam, dan sebagainya. Di samping itu, para sastrawan,
penyair, musisi, dan lain-lain menghiasi era Abbasiyah. Dalam perjalan sejarah
Bani abbasiyah telah mengubah dan menoreh wajah dunia islam dalam refleksi
kegoatan pengembangan wawasan dan disiplin keilmuwan.
Kemajuan intelektual
pada masa tersebut, ditentukan oleh dua hal, yaitu sebagai berikut. Terjadinya
asimilasi antara bahasa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu
mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada masa pemerintahan
Bani Abbas, bangsa-bangsa non Arab banyak yang masuk Islam. Asimilasi
berlangsung secara efektif dan bernilai guna. Bangsa-bangsa itu memberi saham
tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam. Pengaruh Persia
sangat kuat di bidang pemerintah. Di samping itu Bangsa Persia banyak berjasa
dalam perkembangan ilmu, filsafat, dan sastra. Pengaruh India terlihat dalam
bidang kedokteran, ilmu matematika, dan astronomi. Sedangkan pengaruh
Yunani masuk melalui terjemahan-terjemahan di berbagai bidang ilmu,terutama
filsafat.[18]
Motif utama berdirinya lembaga Baitul Hikmah
dimaksudkan untuk menggalakkkan dan mengkoordinir kegiatan pencarian dan penerjemahan
karya-karya klasik dari warisan intelektual Yunani, Persia, Mesir dan lain-lain
ke dalam bahasa Arab, khusunya umat islam. Salah seorang yang paling berperan,
Hunayn bin ishaq, mengadakan perjalanan ke Alexandria dan singgah pula di
Syiria dan Palestina untuk mencari karya-karya kuno tersebut.[19]
Menurut Dr.Oumar Faroukh, faktor-faktor yang
mendorong umat Islam melakukan kegiatan penerjemah dan transfer ilmu-ilmu kuno
adalah :
a.
Suasana Persaingan (prestise) antara
orang-orang Arab dengan lainnya.
b.
Keinginan untuk menguasai ilmu-ilmu yang belum
dimiliki.
c.
Legitimasi dan dorongan ayat-ayat al-Quran( dan
ajran Islam secara keseluruhan) untuk menguasai ilmu pengetahuan.
d.
Bahwa
Kemajuan ilmu pengetahuan merupakan konsekuensi (Meskipun tidak selalu demikian)
dari peningkatan kemakmuran dan kemajuan ekonomi.
3.
Dampak dari kegiatan penerjemahan
Dengan berdirinya Baitul hikmah, kegiatan
pentransferan ilmu pengetahuan menjadi lebih intensif. Khalifah berhasil
merekrut para sastrawan, sejarawan dan ilmuwan-ilmuwan terbaiknya. Tim-tim
ekspedisipun dikirim ke kawasan-kawasan kuno kerajaan Bizantium dengan tugas
mencari karya-karya ilmuwan/ filosof klasiknya. Melalui kegiatan-kegiatan
ekspedisi inilah pada akhirnya umat islam bisa “berkenalan” dengan
karya-karya Hypokrates, Euclides , galen dan lain-lain, yang di Eropa sendiri
praktis dilupakan.
Pesatnya perkembangan lembaga Bait al-Hikmah
mendorong lembaga ini untuk memperluas peranannya, bukan saja sebagai lembaga
penerjemah, tetapi juga meliputi hal-hal sebagai berikut:
a.
Sebagai pusat dokumentasi dan pelayanan
informasi keilmuwan bagi masyarakat, yang antara lain ditunjukkan dengan
berdirinya banyak perpustakaan umum di kota baghdad.
b.
Sebagai pusat dan forum kegiatan pengembangan
keilmuan, sehingga semua perangkat risetnya juga dilengkapi dengan
observatorium astronomi.
c.
Sebagai
pusat kegiatan perencanaan dan koordinasi pelaksanaan pendidikan.
Meluasnya peran lembaga tersebut pada
gilirannya membawa dampak positif secara makro bagi masyarakat luas
diantaranya:
1.
Ditemukannya jalur “benang Merah” yang
menjelaskan rentangan sejarah perkembangan peradaban umat manusia sejak kurun
yang sangat tua, dan diperolehnya kembali kekayaan warisan peradaban kuno yang
bernilai tinggi dari Yunani, Mesir, India, Persia dan lain-lain.
2.
Semakin tumbuh suburnya kondisi sosial yang
favourable bagi pengembangan keilmuan, akibat dari masyarakat yang semakin
apresiatif terhadap bidang tersebut.
3.
Terjadinya integrasi sosial yang kian intensif
dan berkurangnya sikap primodialisme.
a.
Dalam bidang Filsafat,
para filosof Islam berusaha menjawab
persoalan-persoalan umat Islam yang berkaitan dengan kepercayaan dan pemikiran
baik teoritis maupun praktis, kemanusiaan maupun ketuhanan yang dianggap oleh
umat islam perlu untuk dijawab sebagai pegangan hidup keseharian maupun untuk
keselamatan yang lebih tinggi. Pada saat ini pemikiran filsafat mencakup bidang
keilmuan yang sangat luas seperti logika, geometri, Astronomi,dan musik yang
digunakan untuk menjelaskan pemikiran abstrak, garis, dan gambar, gearkan dan
suara. Para filosof semasa Abbasiyah seperti Ya’qub Ibn Ishaq al-Kindi,
Abu Nasr Muhammad al-Farabi, Ibn bjah, Ibn Tufail dan Ibnu Rushd menjelaskan
pemikiran-pemikirannya dengan menggunakan contoh, metafor, analogi, gambaran
dan imaginatif.[20]
b.
Dalam Bidang Hukum Islam,
karya pertama yang diketahui adalah majmu’
al-Fiqh karya Zaid ibn Ali (w.122/740) yang berisi tentang fiqh Syi’ah Zidiyah.
Hakim agung yang pertama adalah Abu Hanifah (w.150/767). Meski dianggap sebagai
pendiri madzhab hanafi, karya-karyanya sendiri tidak ada yang terselamatkan.
Dua bukunya yang berjudul Fiqh al-Akbar(Terutama berisi artikel tentang
keyakinan) dan Wasiyah Abi Hanifah berisi pemikiran-penikirannya terselamatkan
karena ditulis oleh para muridnya. Pencipta sebenarnya madzhab Hanafi adalah
Abu Yusuf (w.182/798) dan Muhammad al-Syaibani (w.189/804). Murid-murid Abu
Hanifah ini menulis pemikiran-pemikiran guru mereka tersebut dan memberi
komentar terhadap pemikiran-pemikiran tersebut. Abu Yusuf menjadi hakim
utama pada masa Harun al-Rasyid. Dia sendiri menulis kitab tentang berbagai
macam pajak dalam islam termasuk zakat.
Ada
beberapa pendiri madzhab hukum lain yang sudah punah. Al-Auza’i (w.157/774)
dikatakan telah menciptakan madzhab fiqh tersendiri di Syiria. Sedangkan Sufyan
al-Thawari (w.161/1778) dikatakan telah menciptakan madzhab hukum Islam di
syiria.
Pendiri
Mazhab besar kedua adalah Malik Ibn Anas dari Madinah (w.179/795) yang menulis
karya yang penting mengenai syari’ah. Karyanya kitab al-muwatta’ merupakan
hukum Islam otentik pertama yang masih utuh. Kitab ini merupakan kitab hukum
dan kumpulan-kumpulan hadits.
Pendiri
madzhab besar ketiga adalah muhammad ibn Idris as-Syafi’i (w.204/820) sangat
ekstentif dan lebih sistematik. Karyanya yang paling penting adalah kitab
al-Risalah fi Ushul al-Fiqh). Kitab ini merupakan tulisan pertama yang
menguraikan sistem hukum secara lengkap yang didasarkan pada al-Quran, Sunnah,
Ijma’,dan Qiyas yang dinamakan usul (landasan) yang sangat berpengaruh besar
dalam pengembangan hukum islam.
Pendiri mazhab besar keempat adalah Ahmad ibn
Hanbal (w.241-855) yang merupakan saling konservatif antara keempat pendiri
mazhab sunni). Karyanya musnad berisi sekumpulan 30.000 hadits Nabi. Dia juga
menulis karya kitab al-Masa’il,kitab al-Wuru’ dan kitab Zuhd.[21]
BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian di
atas dapat di tarik kesimpulan bahwa, pada masa Bani Abassiyah umumnya dan masa
Khalifah al-Ma’mun khususnya, Islam meraih kejayaannya. Banyak kontribusi
keilmuan yang disumbangkan. Karya dan tokoh-tokohnya telah menjadi inspirasi
dalam pengembangan keilmuan, oleh karena itu masa ini dikatakan sebagai masa
keemasan Islam walau akhirnya peradaban Islam mengalami kemunduran dan
kehancuran di bidang keilmuan bersamaan dengan berakhirnya pemerintahan
Abbasiyah secara umum.
Demikian
makalah ini kami sampaikan, tentunya makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu, saran dan kritik dari pembaca sangat kami harapkan, agar
makalah ini menjadi lebih sistematis dan komprehensif. Dan semoga dengan uraian
di atas kita dapat mengambil hikmahnya.
DAFTAR PUSTAKA
Amin,Samsul Munir.
Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah, 2009
Karim,Muhammad Abdul. Sejarah Pemikiran Dan
Peradaban Islam. Yogyakarta: Pusta Book Publisher 2009
Lathiful Khuluq, et.al. Sejarah Peradaban Islam Dari
Masa Klasik Hingga Modern.. Yogyakarta: Lesfi, 2003
Madjid, Nurcholish., Khazanah Intelektual Islam,
Jakarta: Bulan Bintang, 1994
Nasution, Harun., Islam Ditinjau Dari Bebabagi Aspeknya,
Jakarta: UI Press, 1985
http://muhlis.files.wordpress.com/2007/08/islam-masa-abbasiyyah.pdf
http://ahperpus.multiply.com/journal?&page_start=20
http://kasadaranlink.blogspot.com
Rofiq, Choirul. Sejarah Peradaban Islam Dari Masa Klasik
Hingga Modern.. Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2009
Solikhin, Muhammad.
Sejarah Peradaban Islam.. Semarang: RASAIL, 2005
Shaliba, Jamil., Al-Falsafah Al-‘Arabiyah,Dar
al-Kitab al-Lubnani, Beirut, 1973
[3]Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Bebabagi
Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 1985).h. 68
[7]Lathiful Khuluq. Sejarah
Peradaban Islam Dari Masa Klasik Hingga Modern. (Yogyakarta: Lesfi 2003).
h.126
[11]M. Abdul Karim. Sejarah
Pemikiran Dan Peradaban Islam. (Yogyakarta: Pusta Book Publisher,2009). h.
176
[14]Ibid
[18]Samsul Munir Amin. Sejarah
Peradaban Islam,(Jakarta: Amzah, 2009). h.145